Kata
sebutan “jathilan” berasal dari kata “jathil” (Jawa) yang artinya “njoget
nunggang jaran kepang”. Jadi yang disebut “jathilan” adalah: “Arane tontonan
jejogedan nganggo nunggang jaran kepang” (Mangunsuwito, 2002: 76). ada juga yang mengetimologikan dari
asal katanya, jathilan berasal dari kalimat singkatan berbahasa Jawa “jaranne thil-thilan” yang
jika dialih bahasakan ke dalam bahasa indonesia menjadi “kudanya
benar-benar joget tak beraturan
”. Joget tak beraturan (thil-thilan) ini memang bisa
dilihat pada kesenian jathilan utamanya ketika para penari telah kerasukan. Jathilan
juga dikenal dengan nama kuda
lumping, kuda kepang, ataupun jaran kepang.
Tersemat
kata “kuda” karena kesenian yang merupakan perpaduan antara seni tari
dengan magis ini dimainkan dengan menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang
terbuat dari anyaman bambu (kepang).
Jathilan dipertunjukkan umumnya pada siang dan sore
hari oleh sekelompok seniman yang terdiri dari penari dan penggamel (pemain
gamelan). Dahulu, Jathilan
merupakan sebuah tarian ritual untuk memanggil roh kuda dan meminta keamanan
desa serta keberhasilan panen. Menurut perannya dalam masyarakat Jawa, kuda
melambangkan kekuatan, kepatuhan, dan sikap pelayanan dari kelas pekerja. Hal
inilah yang menginspirasi seluruh pertunjukan Jathilan yang menempatkan penari dengan kuda-kudaan sebagai
pusat perhatian.
Tari
kerakyatan dengan ciri khas para penarinya menggunakan properti kuda kepang ini
banyak tumbuh dan berkembang di desa-desa wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, dan Jawa Barat. Bahkan para transmigran dari Jawa
di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi juga banyak yang mengembangkan kesenian jenis
ini. Di Malaysia bagian Selatan pun juga terdapat kesenian kuda kepang yang
dikembangkan oleh orang-orang Jawa yang menetap di sana.
Kesenian
kuda kepang ini di beberapa daerah memiliki sebutan yang berbeda-beda. Di
Yogyakarta kesenian ini populer disebut sebagai “Jathilan”. Namun di Kulon
Progo ada yang menyebut “Oglek” dan “Incling”. Sedangkan di Jawa Tengah daerah
Banyumas, kesenian ini dikenal sebagai kesenian “Ebek”, dan di daerah
keresidenan Surakarta disebut “Jaranan Dor”. Sementara di daerah Tulungagung,
Blitar dan sekitarnya lebih dikenal sebagai kesenian “Senthe Rewe”, dan ‘Kuda
Lumping’ istilah populer di Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar