Tari
Jathilan merupakan perwujudan dari seni-budaya kerakyatan yang berbasis pada
kalangan masyarakat pedesaan atau masyarakat petani, disebut sebagai ‘seni kasar’ atau seni
kalangan bawah. Namun demikian bagi kalangan seniman moderat, antara ‘seni
kasar’ dengan ‘seni alus’, ‘seni kerakyatan’ dengan ‘seni klasik’, atau ‘seni
pedesaan’ dengan ‘seni keraton’ bukan menjadi sesuatu yang penting untuk
diperdebatkan, dan sesuatu yang tidak penting di dalam konteks berkreativitas
seni.
Sebagai
cerminan bahwa kesenian ini berasal dan berkembang di kalangan bawah, kesan
minimal juga terpancar dari kelompok musik pengiringnya. Jika diperhatikan,
bunyi-bunyian yang dihasilkan terasa datar dan monoton. Namun itu bukan tanpa
maksud. Selain ingin menghadirkan kesan magis, hal itu melambangkan keseharian
kaum pekerja kelas bawah yang dipenuhi rutinitas. Gamelan untuk mengiringi
Jathilan ini cukup sederhana, hanya terdiri dari drum, kendang, kenong, gong,
dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Lagu-lagu yang dibawakan
dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia
senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta, namun
ada juga yang menyanyikan lagu-lagu lain.
Lebih
lanjut suatu ekspresi kesenian (seni pertunjukan), baik tradisional maupun
non-tradisional ukuran kualitasnya bukanlah atas dasar ‘seni kasar’ atau ‘seni
alus’, ‘seni kerakyatan’ atau ‘seni klasik’. Melainkan pada totalitas
penghayatan dalam penyajiannya, serta ketulusan dan keikhlasan dalam
melakukannya. Hanya dengan tindakan-tindakan seperti itulah suatu ekspresi
pertunjukan tari Jathilan dapat diapresiasi dan menggetarkan emosi penontonnya.
Sebagai contoh, tari ‘Kuda Lumping’ ciptaan Kuswaji Kawindarsusanta dan Bagong
Kussudiardja (tahun 1960-an), bagaimanapun merupakan kemasan kreasi baru. Tari Jathilan
tradisional oleh karenanya tidak bisa dibenturkan atau dibandingkan dengan tari
‘Kuda Lumping’ tersebut di atas. Bagi para pelaku tari Jathilan tradisional dan
masyarakat pedesaan, bila melihat tari ‘Kuda Lumping’ kreasi baru tentu tidak
akan menemukan sesuatu yang esensial dari tari Jathilan yang tradisional.
Sesuatu yang esensial tersebut adalah pada aspek spiritualitas dalam diri para
pelakunya.
Jalan
cerita utama dalam seni Jathilan merefleksikan berbagai problematika
yang timbul dalam hubungan antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas
pekerja yang diwakili para penari kuda digambarkan tanpa aturan, tak
henti-henti bergerak; pacak gulu (Menggerakkan kepala ke kiri dan
kanan), siring (bergeser kesamping dengan setengah berlari), njondil
(melompat), berguling, bahkan sampai kerasukan.
Pria
dengan cemeti selalu mengawasi segala tindakan para kuda. Mereka digambarkan
sebagai tokoh yang lebih sedikit jumlahnya, tidak urakan, dan memiliki
otoritas. Kesan arogan dan datar tanpa basa basi dimunculkan oleh dominasi
warna merah menyala dan hitam pada riasan wajah dan pakaiannya. Tokoh ini
bergerak memutar mengelilingi penari kuda di tengah arena yang “keasyikan”
mengikuti musik. Sesekali melecutkan cemeti untuk memperingatkan penari kuda
jika mereka bertindak “kebablasan”.
Dalam
tradisi lamanya yang telah tersebut di atas salah satu atraksi yang menonjol
pada kesenian Jathilan adalah ketika satu atau lebih penarinya kemasukan roh
atau ndadi. Bahkan adegan ndadi menjadi salah satu ciri khas kesenian Jathilan
di mana unsur-unsur magis atau supranatural sangat ditonjolkan pada pertunjukan
kesenian Jathilan. Ketika
terjadinya “ ndadi ” alias kerasukan, para penari jathilan mampu
melakukan atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia,
sebagai contoh adalah memakan dedaunan, menyantap kembang, bahkan juga
mengunyah beling (pecahan kaca), bahkan berperang menggunakan
pedang, serta tindakkan menyayat lengan Setelah sekian lama, para penari
kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan,
mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti rancaknya suara
gamelan yang dimainkan.
Oleh
sebab itulah di dalam kesenian Jathilan selalu ada seorang tokoh pawang yang
bertugas memasukkan dan mengeluarkan roh, mengatur dan mengendalikan pada
adegan ndadi tersebut. Adegan ndadi inilah yang menjadi puncak atau klimaks
pertunjukan kesenian Jathilan. Selanjutnya, adanya adegan ndadi tersebut
mengindikasikan bahwa kesenian Jathilan termasuk kesenian lama dan tua usianya.
dimana penggunaan unsur-unsur magis
atau supranatural adalah sisa-sisa budaya animisme yang masih melekat pada
kesenian Jathilan sebagaimana pula masih terdapat dalam kesenian Sintren di
daerah pesisir utara Jawa. Demikian pula tari-tarian tradisional di daerah
Kalimantan (seni Dayak), Bali, Lombok, dan daerah lain di Indonesia juga masih
banyak yang menggunakan unsur-unsur magis dalam pertunjukannya. Namun demikian,
terutama di Jawa dan khususnya kesenian Jathilan, belakangan ini adegan ndadi
banyak dihilangkan dalam pertunjukannya. Terutama pertunjukan-pertunjukan
kesenian Jathilan pada forum-forum festival atau lomba yang biasanya dibatasi
oleh durasi waktu penampilannya. Tetapi pertunjukan kesenian Jathilan di
desa-desa, terutama untuk nadaran, bersih desa, sunatan, dan sejenisnya, adegan
ndadi selalu ditampilkan.