Selasa, 15 November 2016

Pertunjukan Kesenian Jathilan



Tari Jathilan merupakan perwujudan dari seni-budaya kerakyatan yang berbasis pada kalangan masyarakat pedesaan atau masyarakat petani,  disebut sebagai ‘seni kasar’ atau seni kalangan bawah. Namun demikian bagi kalangan seniman moderat, antara ‘seni kasar’ dengan ‘seni alus’, ‘seni kerakyatan’ dengan ‘seni klasik’, atau ‘seni pedesaan’ dengan ‘seni keraton’ bukan menjadi sesuatu yang penting untuk diperdebatkan, dan sesuatu yang tidak penting di dalam konteks berkreativitas seni. 

Sebagai cerminan bahwa kesenian ini berasal dan berkembang di kalangan bawah, kesan minimal juga terpancar dari kelompok musik pengiringnya. Jika diperhatikan, bunyi-bunyian yang dihasilkan terasa datar dan monoton. Namun itu bukan tanpa maksud. Selain ingin menghadirkan kesan magis, hal itu melambangkan keseharian kaum pekerja kelas bawah yang dipenuhi rutinitas. Gamelan untuk mengiringi Jathilan ini cukup sederhana, hanya terdiri dari drum, kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Lagu-lagu yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta, namun ada juga yang menyanyikan lagu-lagu lain. 

Lebih lanjut suatu ekspresi kesenian (seni pertunjukan), baik tradisional maupun non-tradisional ukuran kualitasnya bukanlah atas dasar ‘seni kasar’ atau ‘seni alus’, ‘seni kerakyatan’ atau ‘seni klasik’. Melainkan pada totalitas penghayatan dalam penyajiannya, serta ketulusan dan keikhlasan dalam melakukannya. Hanya dengan tindakan-tindakan seperti itulah suatu ekspresi pertunjukan tari Jathilan dapat diapresiasi dan menggetarkan emosi penontonnya. Sebagai contoh, tari ‘Kuda Lumping’ ciptaan Kuswaji Kawindarsusanta dan Bagong Kussudiardja (tahun 1960-an), bagaimanapun merupakan kemasan kreasi baru. Tari Jathilan tradisional oleh karenanya tidak bisa dibenturkan atau dibandingkan dengan tari ‘Kuda Lumping’ tersebut di atas. Bagi para pelaku tari Jathilan tradisional dan masyarakat pedesaan, bila melihat tari ‘Kuda Lumping’ kreasi baru tentu tidak akan menemukan sesuatu yang esensial dari tari Jathilan yang tradisional. Sesuatu yang esensial tersebut adalah pada aspek spiritualitas dalam diri para pelakunya.

Jalan cerita utama dalam seni Jathilan merefleksikan berbagai problematika yang timbul dalam hubungan antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas pekerja yang diwakili para penari kuda digambarkan tanpa aturan, tak henti-henti bergerak; pacak gulu (Menggerakkan kepala ke kiri dan kanan), siring (bergeser kesamping dengan setengah berlari), njondil (melompat), berguling, bahkan sampai kerasukan.

Pria dengan cemeti selalu mengawasi segala tindakan para kuda. Mereka digambarkan sebagai tokoh yang lebih sedikit jumlahnya, tidak urakan, dan memiliki otoritas. Kesan arogan dan datar tanpa basa basi dimunculkan oleh dominasi warna merah menyala dan hitam pada riasan wajah dan pakaiannya. Tokoh ini bergerak memutar mengelilingi penari kuda di tengah arena yang “keasyikan” mengikuti musik. Sesekali melecutkan cemeti untuk memperingatkan penari kuda jika mereka bertindak “kebablasan”.

Dalam tradisi lamanya yang telah tersebut di atas salah satu atraksi yang menonjol pada kesenian Jathilan adalah ketika satu atau lebih penarinya kemasukan roh atau ndadi. Bahkan adegan ndadi menjadi salah satu ciri khas kesenian Jathilan di mana unsur-unsur magis atau supranatural sangat ditonjolkan pada pertunjukan kesenian Jathilan. Ketika  terjadinya “ ndadi ” alias kerasukan, para penari jathilan mampu melakukan  atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia, sebagai contoh adalah memakan dedaunan, menyantap kembang, bahkan juga mengunyah beling (pecahan kaca), bahkan berperang menggunakan pedang, serta tindakkan menyayat lengan Setelah sekian lama, para penari kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti rancaknya suara gamelan yang dimainkan.


Oleh sebab itulah di dalam kesenian Jathilan selalu ada seorang tokoh pawang yang bertugas memasukkan dan mengeluarkan roh, mengatur dan mengendalikan pada adegan ndadi tersebut. Adegan ndadi inilah yang menjadi puncak atau klimaks pertunjukan kesenian Jathilan. Selanjutnya, adanya adegan ndadi tersebut mengindikasikan bahwa kesenian Jathilan termasuk kesenian lama dan tua usianya.       dimana penggunaan unsur-unsur magis atau supranatural adalah sisa-sisa budaya animisme yang masih melekat pada kesenian Jathilan sebagaimana pula masih terdapat dalam kesenian Sintren di daerah pesisir utara Jawa. Demikian pula tari-tarian tradisional di daerah Kalimantan (seni Dayak), Bali, Lombok, dan daerah lain di Indonesia juga masih banyak yang menggunakan unsur-unsur magis dalam pertunjukannya. Namun demikian, terutama di Jawa dan khususnya kesenian Jathilan, belakangan ini adegan ndadi banyak dihilangkan dalam pertunjukannya. Terutama pertunjukan-pertunjukan kesenian Jathilan pada forum-forum festival atau lomba yang biasanya dibatasi oleh durasi waktu penampilannya. Tetapi pertunjukan kesenian Jathilan di desa-desa, terutama untuk nadaran, bersih desa, sunatan, dan sejenisnya, adegan ndadi selalu ditampilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar